Monday 27 February 2017

Sosial Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial)



1.      Asal Social Entrepreneurship
Menurut Deakins & Freel (2009:249) sebagaimana yang dikutip oleh Wahyudi (2012:91) Ilmu sosial ekonomi digunakan sebagai acuan dasar pengembangan konsep social entrepreneurship. Istilah sosial ekonomi berawal pada permulaan abad ke-20, ditandai dengan banyak perubahan (kemiskinan, ketidakpastian hak, dll). Sebagai akibat revolusi industri pada abad 18 dan 19. Istilah social entrepreneurship belum digunakan sampai dengan tahun 1970, namun sejak saat itu istilah ini mulai dipopulerkan oleh Bill Drayton (Ashoka Foundation). Ashoka sebuah organisasi yang memiliki tujuan sosial, mengupayakan tercapainya visi dan misi dengan cara inovatif dan kreatif melalui metode bisnis pada umumnya organisasi seperti Ashoka ini disebut juga social enterprise. Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam social enterprise disebut social entrepreneur.
2.      Definisi Sosial Entrepreneurship
Menurut Deakins & Freel (2009:252) sebagaimana yang dikutip oleh Wahyudi (2012:91) Social Entrepreneurship adalah semua aktivitas yang berhubungan dengan pengambilan peluang untuk menciptakan nilai-nilai sosial di masyarakat dengan cara inovatif, kreatif, dan disertai pengambilan risiko kegagalan. Sedangkan menurut Santosa (2007) sebagaimana yang dikutip oleh Wulandari (2012) Sosial Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sosial Entrepreneurship adalah semua aktivitas yang berhbungan dengan pengambilan peluang untuk menciptakan nilai-nilai sosial di masyarakat terutama dalam bidang kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan dengan cara kreatif, inovatif, dan disertai pengambilan  risiko kegagalan.
Ada beberapa tingkatan dari social entrepreneurship sebagai berikut (Wahyudi, 2012:91).
1)      Social obligation
Tingkat aktivitas minimum akan tanggung jawab sosial, hanya melakukan kegiatan yang diwajibkan oleh Negara. Seperti kegiatan yang dilakukan oleh forum mahasiswa Bidikmisi (Formadiksi) sebagai pengabdian kepada Negara di akhir semester gasal berupa kegiatan FUN (Formadiksi Untuk Negeri), dimana dalam kegiatan tersebut diciptakan nilai-nilai sosial dalam bidang pendidikan dengan cara memberikan pelatihan keterampilan origami pada anak-anak di tempat pengabdian selama beberapa hari. Selain hal tersebut dalam bidang kesejahteraan dilaksanakan dengan member bantuan berupa sembako kepada masyarakat kurang mampu di daerah pengabdian. Serta dalam bidang kesehatan dilaksanakan dengan kegiatan kerja bakti mengambil sampah di sepanjang jalanan tempat pengabdian, membersihkan tempat ibadah yang berada di tempat pengabdian, dan menanam pohon secara gratis di halaman tempat tinggal masyarakat di tempat pengabdian.
2)      Social responsiveness
Tingkat aktivitas medium akan tanggung jawab sosial, melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, walaupun tidak diwajibkan oleh Negara. Seperti seorang mahasiswa lulusan S1 Pendidikan Ekonomi di Universitas Negeri Malang asal Jombang yang memilih untuk bergabung dengan Koperasi di daerahnya dan berhasil mengembangkan komoditas pisang dengan berbagai macam produk rasa. Sehingga Koperasi tersebut menjadi maju dan para anggotanya menjadi sejahtera.
3)      Social responsibility
Tingkat aktivitas maksimum akan kesadaran dan tanggung jawab sosial secara luas, mengejar tujuan jangka panjang yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, walaupun tidak ada keuntungan bisnis apapun di dalamnya.  Seperti seseorang yang menciptakan lembaga sosial untuk pemberantasan buta huruf.
3.      Karakteristik Social Entrepreneur
Ada 3 (tiga) karakteristik wirausaha sosial sebagaiberikut (Prima, 2016).
1)      Adanya aktivitas produksi barang/jasa.
Konsep wirausaha sosial berpusat pada suatu produksi barang atau jasa untuk menghasilkan keuntungan. Dengan adanya keuntungan, sebuah organisasi wirausaha sosial dapat merencanakan perkembangannya, dan mendanai misi sosial yang menjadi sasarannya. Meskipun dana tersebut dapat diperoleh dari kompetisi atau angel investor, tetapi keuntungan yang berkelanjutan dapat menciptakan kemandirian bagi organisasi dan komunitas yang dibantu.
2)      Memiliki nilai sosial
Disamping profit, kesuksesan wirausaha sosial diukur dari seberapa berhasil organisasi tersebut menyelesaikan masalah sosial. Melalui kegiatannya, organisasi merancang program-program yang secara spesifik dapat memenuhi kebutuhan komunitas sasaran. 
3)      Menjaga jaringan komunikasi atau informasi
Setelah memastikan organisasi mendapatkan profit dan memiliki nilai sosial, wirausaha sosial juga harus menjalankan proses komunikasi dengan baik. Dengan komunikasi yang efektif tidak hanya komunitas sasaran akan mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memperbaiki kehidupan mereka, tetapi publik akan memberikan dukungan terhadap misi sosial seorang wirausaha. Wirausaha sosial berpromosi dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu dengan cara menciptakan kesadaran masyarakat akan sebuah isu sosial dan mengemukakan langkah-langkah perubahan yang telah berhasil dilakukan.
4.      Kunci Keberhasilan Social Entrepreneurship
Social entrepreneurship mengacu pada berbagai macam tipe aktivitas, organisasi, dan masyarakat. Seelos & Mair dalam Deakins & Freel (2009:250) menyatakan tiga konsep kunci keberhasilan social entrepreneurship sebagai berikut.
1)  Semua aktivitas organisasi non-profit perlu difokuskan pada diversifikasi sumber pendanaan agar tidak terlalu bergantung pada dana hibah pemerintah atau perusahaan swasta.
2)   Diperlukan koordinasi aktivitas beberapa individu dalam organisasi yang memiliki tugas masing-masing untuk mencari pemecahan masalah sosial yang spesifik.
3)    Bekerjasama dengan aktivitas perusahaan swasta dalam menjalankan inisiatif tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat (corporate social responsibility).

Sumber:
Deakins, D. & Freel, M. 2009. Entrepreneurship and Small Firms. Glasgow: McGraw Hill.
Prima. 2016. 3 Karakteristik Wirausaha Sosial yang Perlu Kamu Tahu. (Online), (http://www.gandengtangan.org/blog/3-karakteristik-wirausaha-sosial-yang-perlu-kamu-tahu.html) diakses pada tanggal 15 Februari 2017.
Wahyudi, Sandy. 2012. ENTREPRENEURIAL BRANDING AND SELLING: Road Map Menjadi Entrepreneur Sejati. Yogayakarta: Graha Ilmu.
Wulandari, Desti. 2012. Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneur). (Online), (http://www.destiwulandari_kewirausahaan-sosial-social-entrepreneur.html) diakses pada tanggal 14 Februari 2017.
Gambar:
https://www.google.co.id/search?q=gambar+kewirausahaan+sosial+untuk+blog&espv=2&biw=1024&bih=509&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwizoJzUhLLSAhUHW5QKHY_AAuoQ_AUIBigB#imgrc=PzGm6HZIGNv2SM.

Friday 10 February 2017

Arti Penting Motivasi dalam Pembelajaran


Arti Penting Motivasi dalam Pembelajaran
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere yang bermakna bergerak, istilah ini bermakna mendorong, mengarahkan tingkah laku manusia. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan adanya motivasi belajar (Iskandar, 2009:180). Menurut Winkels (1897) sebagaimana yang dikutip oleh Iskandar (2009:180) “Motivasi belajar merupakan motivasi yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar dengan keseluruhan penggerak psikis dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar dalam mencapai satu tujuan.” Motivasi dan pembelajaran adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Pembelajaran adalah kegiatan yang mengubah tingkah laku melalui latihan dan pengalaman sehingga menjadi lebih baik sebagai hasil dari penguatan yang dilandasi untuk mencapai tujuan. Motivasi merupakan salah satu determainan penting dalam proses pembelajaran, seseorang siswa tidak mempunyai motivasi untuk belajar, maka tidak akan mungkin aktivitas belajar terlaksana dengan baik, sedang bagi guru (pendidik) apabila tidak mempunyai motivasi untuk mengajar ilmunya kepada siswa juga tidak akan ada proses pembelajaran (Iskandar, 2009:180).
Perilaku yang penting bagi manusia adalah belajar dan bekerja. Belajar menimbulkan perubahan mental pada diri siswa. Bekerja menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri pelaku dan orang lain. Motivasi belajar dan motivasi bekerja merupakan penggerak kemajuan masyarakat. Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru (Dimyati & Mudjiono, 2013:84).
1)      Bagi siswa pentingnya motivasi belajar adalah sebagai berikut:
a)      Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil belajar.
b)      Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan dengan sebaya.
c)      Mengarahkan kegiatan belajar.
d)     Membesarkan semangat belajar.
e)  Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja (disela-selanya adalah istirahat atau bermain) yang berkesinambungan, individu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil.
2)      Bagi guru pentingnya motivasi belajar sebagai berikut:
a)   Membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil, membangkitkan bila siswa tidak bersemangat, meningkatkan bila semangat belajarnya timbul tenggelam, memelihara bila semangatnya telah kuat untuk mencapai tujuan belajar.
b)      Mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di kelas bermacam-ragam.
c)    Meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam-macam peran seperti sebagai penasihat, fasilitator, instruktur, teman diskusi, penyemangat, pemberi hadiah atau pendidik.
d)     Memberi peluang guru untuk “unjuk kerja” pedagogis. Tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai berhasil. Tantangan profesionalitasnya justru terletak pada “mengubah” siswa tak berminat menjadi bersemangat belajar. “mengubah” siswa cerdas yang acuh tak acuh menjadi bersemangat belajar.
Jumlah motivator yang mempengaruhi siswa pada saat yang sama dapat banyak sekali, dan motif-motif (yaitu faktor yang membangkitkan dan mengarahkan tingkah laku)  yang dibangkitkan oleh motivator-motivator tersebut mengakibatkan terjadinya sejumlah tingkah laku yang dimungkinkan untuk ditampilkan oleh seorang siswa (Slameto, 2010:171).

Sumber:
Dimyati & Mudjiono. 2013. Belajar & Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan sebuah Orientasi Baru. Ciputat: Gaung Persada Press.
Slameto. 2010. Belajar dan Fakto-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Gambar:https://www.google.co.id/search?q=gambar+motivasi+belajar&espv=2&biw=1024&bih=465&site=webhp&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiq1PS5_obSAhUIgbwKHVStCsgQ_AUIBigB#imgrc=a5N7xcTQNaLgJM.

Teori-Teori Pembelajaran


Pengertian belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi sebagai berikut (Iskandar, 2009:109).
1)      Teori Belajar Behaviorisme
Teori behaviorisme merupakan salah satu teori psikologi yang memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan mental. Makna teori ini tidak mengakui adanya kecerdasan, minat, emosi, dan perasaan individu dalam suatu proses pembelajaran. Peristiwa belajar semata-mata hanya melatih refleks-refleks sedimikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori behaviorisme memaknai belajar sebagai perilaku perubahan organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Aplikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
2)      Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik yang dipelopori oleh Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti dilihat oleh teori psikonalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. 
            Selain menitikberatkan pada hubungan interpersonal, para pendidik yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Melihat hal-hal yang diusahakan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. 
3)      Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstrutivisme menyatakan belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan balikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Teori belajar konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Teori-teori belajar, seperti bihaviorisme, humanisme, dan konstruktivisme sangat bermanfaat dalam  melaksanakan pembelajaran, adapun beberapa manfaat dari memahami dan menguasai teori-teori belajar ini sebagai berikut (Iskandar, 2009:122).
a)    Membantu guru untuk memahami begaimana siswa belajar;
b)    Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran;
c)    Memandu guru untuk mengelola kelas;
d)  Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa yang telah dicapai;
e)    Membantu proses belajar yang lebih efektif, efisien, dan produktif;
f)     Membantu guru dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada siswa sehingga dapat mencapai hasil prestasi yang maksimal.

Sumber:
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan sebuah Orientasi Baru. Ciputat: Gaung Persada Press.
Gambar:https://www.google.co.id/search?q=gambar+untukteori+pembelajaran&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjSp5yS9IbSAhUBV7wKHXBqC5UQ_AUICCgB&biw=1024&bih=509#imgrc=5Iq2T4UMUfKHOM


Thursday 2 February 2017

Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia pada Masa Orde Baru sebagai Implementasi Teori Rostow


A.  Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia pada Masa Orde Baru sebagai Implementasi Teori Rostow
Di Indonesia, teori tahapan ekonomi Rostow pada masa Soeharto dilaksanakan sebagai landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan pembangunan 5 tahun. Dengan demikian, implementasi teori Rostow berdasarkan 5 tahap teori Rostow yaitu: masyarakat tradisional, pra kondisi tinggal landas, tinggal landas, pembangunan, konsumsi tingkat tinggi, menurut Rostow pembangunan ekonomi suatu masyarakat tradisional menuju masyarakat modern merupakan sebuah proses yang berdimensi banyak (Sadono, 2010:167).
Dalam upaya melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah Soeharto atau pada masa Orde Baru melaksanakan pembangunan melalui Repelita (Rencana Pembanagunan Lima Tahun). Dalam buku Indonesia Sejak Supersemar dijelaskan bahwa Rencana Pembanguna Lima Tahun 1969-1973 mempunyai sasaran-sasaran pokok yang pada dasarnya meliputi tiga bidang luas yaitu:  
1)      Bidang materiil, yang mencakup pembangunan sektor-sktor agrarian, prasarana, industri, pertambangan dan pariwisata dengan menentukan pula penunjangan setiap usaha di bidang ekonomi pada sektor-sektor tersebut.
2)      Bidang mental dan spiritual.
3)      Bidang pertahanan dan keamanan.
Dalam pelaksanaan ketiga-tiganya dilakukan bersama-sama dan saling menunjang. Sekalipun demikian dari masalah-masalah yang hingga sekarang ada, yang terpenting adalah untuk mengatur kembali dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal ini dikarenakan kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sektor pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, ramah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Jangka waktu pembangunan Orde Baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun), adapaun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinambungan.
1.      PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran dari Pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan Pelita 1 termasuk pembiayaan selalui disetujui DPR dengan membuat Undang-Undang sesuai ketentuan UUD 1945. Keberhasilan dalam Pelita I diantaranya sebagai berikut.
§  Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
§  Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
§  Perbaikan jalan raya.
§  Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
§  Semakin majunya sektor pendidikan
Jika melihat pada tahapan ekonomi menurut Rostow, pada Pelita I ini masuk kedalam kategori masyarakat tradisional karena jika dilihat perekonomian  Indonesia pada saat itu bertumpu pada sektor pertanian. Produksi masih sangat terbatas dan masih bersifat statis.
2.      PELITA II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran dari Pelita II adalah sandang, pangan, perumahan, srana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja. Untuk melaksanakan Pelita II, presiden Soeharto kemudian membentuk Kabinet Pembangunan II. Program kerja Kabinet Pembangunan II disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II,  yaitu meliputi :
§  Meningkatkan stabilitas politik.
§  Meningkatkan stabilitas keamanan.
§  Melanjutkan Pelita I dan melaksanakan Pelita II.
§  Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
§  Melaksanakan pemilihan umum.
Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dibidang irigasi, dan juga kenaikan produksi dibidang industri. Serta banyak jalan- jalan dan jembatan yang dibangun dan diperbaiki. Pada Pelita II ini terlihat adanya peningkatan dari Pelita I walaupun masih belum banyak.
3.      PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Sasaran pokok Pelita III diarahkan pada trilogi pembangunan dan delapan jalur pemerataan.
a.      Trilogi pembangunan mencakup:
§  Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
§  Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
§  Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
b.      Delapan jalur pemerataan mencakup:
§  Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan perumahan bagi rakyat banyak.
§  Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan.
§  Pemerataan pembagian pendapatan.
§  Pemerataan memperoleh kesempatan kerja.
§  Pemerataan memperoleh kesempatan berusaha.
§  Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
§  Pemerataan penyebaran pembangunan di wilayah Indonesia.
§  Pemerataan memperoleh keadilan
Pada tahap Pelita III ini Indonesia mencoba untuk berada pada posisi Pra Lepas Landas yang dikemukakan oleh Rostow dalam tahapan ekonomi. Meskipun pada saat itu belum maksimal.
4.      PELITA IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Titik berat Kabinet Pembangunan IV adalah pembangunan sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri ringan maupun industri berat.
Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut.
§  Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila).
§  Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan.
§  Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton dan berhasil swasembada beras. Sehingga dengan kesuksesan ini Indonesia mendapat penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
5.      PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Titik berat Pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya serta sektor industri, khususnya industri yang menghasilkan barang untuk ekspor, industri yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.
Pada tahap inilah Indonesia berada pada tahap Pra Lepas Landas, dimana perkembangan ekonominya dititik beratkan pada produksi pertanian dan industri. Tujuan utama dari Pelita V yaitu untuk memantapkan dan memaksimalkan apa yang telah berhasil dicapai pada Pelita IV.
6.      PELITA VI
Pelita VI merupakan awal pembangunan jangka panjang kedua ini pada akhirnya membuat Indonesia menapaki tahap-tahap perkembangan selanjutnya, yakni tahap menuju kedewasaan dan tahap konsumsi tinggi. Tahapan menuju kedewasaan ini bisa dilihat dengan mulai munculnya industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia dan industri listrik.

Sumber:
Sadono, S. 2010. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Kencana.
Gambar:https://www.google.co.id/searchq=gambar+untuk+Pertumbuhan+Ekonomi+Di+Indonesia+pada+Masa+Orde+Baru+sebagai+Implementasi+Teori+Rostow&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi1lKX13vLRAhUDpI8KHdytAgEQ_AUICSgC&biw=1024&bih=509#tbm=isch&q=gambar+pertumbuhan+ekonomi+&imgrc=bkGuxiGBBirmLM: